Urgensi Restorasi di Lahan Gambut

Sumber: Drone Lahan Restorasi GSK-BB Belantara Foundation 

    Indonesia merupakan negara pertama yang menjalankan restorasi gambut secara masif sehingga menjadi role model bagi dunia dalam upaya merestorasi gambut. Upaya dalam restorasi lahan gambut sangat penting dilakukan bagi keberlangsungan ekosistem dalam jangka panjang hal ini dikarenakan luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan di Indonesia. Dalam upaya merestorasi lahan gambut diperlukan waktu yang lama.

    Tanah gambut merupakan tanah yang rentan terhadap gangguan sehingga usaha peningkatan produktivitas lahan tersebut harus diikuti usaha dalam mencegah kerusakan ekosistem dengan biaya yang cukup besar. Lahan gambut sangat mudah terbakar karena kandungan bahan organik yang sifatnya porous dan sifat konduktivitas vertikalnya yang rendah, padahal merupakan penyimpan karbon berjumlah besar. Lahan gambut merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna yang masuk dalam daftar terancam punah, serta sumber plasma nutfah yang endemik maupun non endemik.

     Ciri-ciri gambut umumnya memiliki kubah gambut besar dan berhutan (woody peat), yang mencakup lahan gambut rawa dan hutan yang luas dan berada di daerah lanskap dataran rendah, serta terletak terutama di antara sungai-sungai besar.

Lahan gambut memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dengan tanah mineral pada umumnya, antara lain:

(1) mudah mengalami kering tak balik (irreversible drying),

(2) mudah tersubsidensi/ambles (subsidence),

(3) rendahnya daya dukung (bearing capacity) lahan terhadap tekanan,

(4) rendahnya kandungan hara kimia dan kesuburannya (nutrient), dan

(5) terbatasnya jumlah mikroorganisme.

       Restorasi lahan gambut telah menjadi prioritas pemerintah Indonesia dan menjadi perhatian banyak pihak, bukan hanya pemerintah. Kebutuhan restorasi gambut tersebut dipicu oleh nilai penting ekosistem hutan rawa gambut bagi lingkungan dan manusia.

    Banyak hal yang menyebabkan kerusakan pada lahan gambut, seperti penebangan pohon dan konversi hutan menjadi penggunaan lain, serta kebakaran dan reklamasi. Salah satu penyebab kerusakan lahan gambut yang paling sering adalah kebakaran, yang disebabkan oleh hal kecil seperti puntung rokok hingga disebabkan oleh kekeringan pada musim kemarau yang menyebabkan kebakaran. Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut sangat sulit dipadamkan karena api yang menjalar dibawah permukaan tanah, yang jika dilihat dari penampakan atas permukaan api bisa saja telah padam namun jika masih terdapat bara api hal ini dapat menyebabkan kebakaran baru di tempat lain. Hal ini dapat dicegah salah satunya dengan adanya hujan lebat. Oleh karena itu kebakaran di lahan gambut harus dicegah sesegera mungkin karena kebakaran merupakan penyebab paling krusial bagi lahan gambut.

     Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Restorasi merupakan salah satu bentuk pemulihan fungsi lingkungan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut menyatakan bahwa pemulihan fungsi ekosistem gambut merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mengembalikan sifat dan fungsi Ekosistem Gambut sesuai atau mendekati sifat dan fungsi semula.

Beberapa strata restorasi ekosistem lahan gambut antara lain adalah:

Back filling (penimbunan kanal); strata restorasi ini diperlukan untuk menimbun kembali kanal yang telah dibangun atau galian tertentu. Back filling ditujukan untuk mengembalikan konfigurasi lahan ke kondisi semula agar tata air rawa gambut dapat lebih baik, yang ditandai dengan meningkatnya tinggi muka air tanah gambut. Kanal dan galian telah menyebabkan penyusutan tinggi muka air gambut.

Canal blocking (penambatan kanal); merupakan strata restorasi untuk mengatur tata air di bawah permukaan tanah melalui penyekatan kanal pada setiap panjang ruas kanal tertentu.

Rewetting (pembasahan kembali); strata pembasahan kembali dilakukan dengan berbagai pendekatan sipil teknis (seperti penyekatan kanal dan penimbunan kanal) pada lahan gambut yang telah rusak yang fungsi hidrologisnya menurun.

• Pengeringan; strata restorasi ini merupakan salah satu upaya pengaturan tata air guna mengurangi atau menghilangkan genangan air agar tidak mengganggu proses fisiologis vegetasi, misalnya dengan pembangunan sodetan.

• Pembuatan sekat bakar; strata ini dibuat untuk menghentikan jalaran api di atas permukaan tanah. Sekat bakar dibangun dengan lebar dan panjang yang sesuai dengan tingkat risiko kebakaran di arel tersebut.

Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam melaksanakan tugasnya membagi zonasi menjadi 4 bagian yaitu:

a. Zona prioritas Pasca kebakaran;

b. Zona restorasi kubah gambut;

c. Zona prioritas kubah gambut tidak berkanal; dan

d. Kawasan budidaya non-kubah berkanal.

Teknik restorasi Ekosistem Lahan Gambut

  1. Perencanaan

Dalam melakukan restorasi ekosistem gambut, tahap awal kegiatan adalah mengetahui karakteristik lahan gambut yang akan direstorasi melalui pemetaan gambut. Pemetaan gambut ini perlu dilakukan untuk mengetahui lokasi gambut terdegradasi dan mengetahui tipe serta kedalaman lahan gambut yang terdegradasi. Pemetaan merupakan langkah awal yang krusial karena tipe gambut yang berbeda dengan tingkat kerusakan yang berbeda memerlukan teknik restorasi yang berbeda pula. Untuk memastikan akurasi, pemetaan gambut ini perlu dilengkapi dengan verifikasi langsung di lahan gambut.

a.       Survei Awal

b.      Menentukan Lokasi Restorasi

c.       Penyusunan tata waktu dan anggaran kegiatan

           2. Pelaksanaan

a.       Teknik restorasi hidrologi gambut (rewetting)

Pembasahan gambut (rewetting) diperlukan untuk mengembalikan tingkat kebasahan areal gambut (tinggi muka air gambut) yang menurun karena pembuatan kanal. PP 71/2014 mengisyaratkan bahwa tinggi muka air gambut adalah 40 cm, yang dianggap aman terhadap bahaya kebakaran. Penataan air pada tahap ini dapat dilakukan dengan membangun sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (backfilling), sumur bor, dan/atau penahan air yang berfungsi menyimpan air di sungai atau kanal. Target pembasahan lahan gambut yang layak bukanlah menaikkan muka air setinggi mungkin, melainkan menaikkan muka air tanah sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kelembaban gambut (terutama di musim kemarau) agar tidak mudah teroksidasi dan/atau terbakar.

b.      Teknik restorasi vegetasi

Restorasi vegetasi di ekosistem hutan rawa gambut dilakukan setelah terlebih dahulu dilaksanakan perbaikan kondisi tata air (hidrologi). Dengan demikian restorasi revegetasi dilaksanakan pada areal yang mengalami kerusakan karena bekas terbakar, bekas penebangan dan pada kondisi habitat dengan vegetasi jarang.

c.       Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Pelaksana restorasi hutan rawa gambut harus senantiasa berdiskusi dengan warga untuk mencari cara dalam meningkatkan taraf kehidupan melalui pengolahan lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau menggalakkan perikanan dan pariwisata alam. Dengan menjaga lahan gambut, maka keseimbangan ekosistem akan terjaga sehingga masyarakat dapat tetap hidup berdampingan dan memperoleh penghidupan dari beternak maupun bertani.

          3. Pemantauan dan Evaluasi

a.       Pemantauan kegiatan restorasi

Pemantauan kegiatan restorasi ditujukan untuk mengidentifikasi kendala, masalah, dan tantangan yang mungkin dihadapi selama proses restorasi, baik pada tahap perencanaan, maupun tahap pelaksanaan.

b.      Pemantauan hasil restorasi

Hasil pemantauan dipakai untuk bahan pertimbangan kegiatan penyulaman dan pemeliharaan tanaman. Hasil pemantauan juga dipakai sebagai bahan penyempurnaan pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Kekurangan atau kesalahan akan diperbaiki pada tahun berikutnya.

c.       Evaluasi

Laporan evaluasi dilakukan dengan menyusun dan menyampaikan laporan kepada pengelola, memuat kemajuan fisik, keuangan, dan partisipasi masyarakat. Hasil evaluasi digunakan oleh manajemen untuk memperbaiki dan menyempurnakan strategi dan teknik restorasi.

    Pada prinsipnya, restorasi ekosistem gambut adalah mengembalikan kondisi atau karakteristik ekosistem gambut, khususnya kemampuannya dalam menyimpan air hingga 13 kali dari volumenya serta kelimpahan jenis flora faunanya yang khas. Dengan demikian, tidak hanya revegetasi yang menjadi fokus kegiatannya, tetapi juga diperlukan manajemen hidrologi yang tepat sebagai prasyarat keberhasilan revegetasi.

        Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut juga sangat terkait erat dengan kelestarian biodiversity di dunia mengingat ekosistem tersebut merupakan habitat berbagai flora fauna langka. Bahkan, gambut tropis dinilai sebagai ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi diantara ekosistem gambut lainnya.

 

Sumber:

Badan Restorasi Gambut. 2019. Laporan 3 Tahun Restorasi Gambut. Buku BRG Indonesia.

Erlina, Muhammad Ananta Firdaus, Nika Normadilla, Rahmad Ihza Mahendra. 2021. Implementasi Restorasi Lahan Gambut Melalui Penyusunan Peraturan Desa. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah, Vol 6 (2).

Rochmayanto Y., Dolly Priatna, Muhammad Zahrul M. 2021. Strategi dan Teknik Restorasi Ekosistem Hutan Rawa Gambut. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

https://www.tagar.id/indonesia-contoh-restorasi-lahan-gambut-dunia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Aspek Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Dalam AMDAL

Potensi Lebah Kelulut Sebagai Penghasil Madu Yang Kaya Akan Manfaat